Musibah jahiliyah, kekalahan yang sekarang merajalela di seantero dunia Islam kita, tak perlu 'di islah' dengan kutukan ataupun ratapan. Sebab kedua tindakan itu tidak menunjukan sikap 'Ijabiyah' (positif) dalam menghadapi realita. "Adalah lebih baik menyalakan sebatang lilin daripada mengutuk kegelapan".
– “It is better to light a candle than curse the darkness” Peribahasa tersebut secara harfiah memiliki arti “Lebih baik menyalakan sebuah lilin daripada mengutuk kegelapan”. Peribahasa ini telah terkenal sekali di seluruh dunia. Presiden Amerika John F Kennedy pun pernah menggunakan dalam pidatonya. Di Indonesia, peribahasa ini pun kembali terkenal semenjak Anies Baswedan menggunakannya sebagai tagline dalam program Indonesia Mengajar. Sebuah program yang mengirimkan sarjana-sarjana pintar ke pelosok Indonesia untuk membantu peningkatan mutu pendidikan di negara ini. Dalam konteks Pemerintahan Daerah, penulis begitu tergelitik ketika salah satu Pemimpin Daerah di negeri ini menyampaikan hal tersebut sebagai motto dalam menjalankan Pemerintahannya. Dalam sebuah pertemuan dengan masyarakat, KH DR M. Idris Abdul Somad Wakil Walikota Depok 2011-2016 dan Walikota Depok terpilih 2016-2021 begitu gamblang mengulas tentang peribahasa tersebut hingga menginspirasi masyarakat yang hadir termasuk penulis. Rupanya materi peribahasa ini menjadi bahan diskusi inspiratif dan solutif bagi kita semua warga yang kini tengah menantikan kiprah kepemimpinan para pemimpin daerah yang akan dilantik di daerahnya masing-masing. Pilkada serentak, kini telah kita lalui. Beragam fenomena, dinamika, paradigma dan spektrum politik dapat menjadi pembelajaran berharga bagi kita semua. Salah satu paradigma yang masih sering terjadi adalah budaya dan kesenangan kita yang selalu mengeluh, mencaci, merasa tidak puas, menyalahkan bahkan ?mengutuk? kebijakan pemimpin tanpa memberikan solusi dan tidak menyelesaikan masalah tersebut. Dalam hidup bermasyarakat, kita begitu mudah menyalahkan orang lain atas kekurangan yang ada di hidup ini. Tapi seringkali kita lupa bercermin kalau kita belum berbuat sesuatu untuk hidup ini, atau ketika ada masalah kita selalu menyalahkan faktor eksternal. Tanpa kita sadari apa yang kita lakukan tersebut takkan bisa mengubah situasi. Kita cuma ibarat komentator sepakbola yang sebenarnya juga tak bisa bermain bola dengan baik. Tidak sedikit dari kita yang tersibukkan dengan mengamati pekerjaan orang lain, bukan untuk mengambil ibroh/pelajaran atau membantu menyelesaikan pekerjaannya tetapi justru untuk menunggu kapan orang itu terpeleset dalam kekeliruan atau melakukan kesalahan sehingga ia bisa segera mengkritik dengan kritikan yang tidak jarang melebihi batas yang proporsional mengecam pekerjaan orang tanpa memberinya solusi juga tidak jarang hanya akan merenggangkan persaudaraan. Padahal agama telah mengajarkan kita bahwa Beruntunglah orang yang disibukkan dengan mengintrospeksi aib dirinya sehingga tidak sempat mencari-cari aib saudaranya. Mengutuk, meratapi, mengeluh, menyalahkan atau apapun istilah lainnya dengan konotasi yang sama memang mudah dilakukan. Tapi persoalannya kini, apakah setelah kita mengutuk sesuatu maka keadaan itu langsung berubah? Dari pengalaman hidup kita, mengeluh tidak mendatangkan apa-apa kecuali ketenangan batin yang semu. Ibaratnya ketika menutup mata, semua bayangan dunia menjadi tak terlihat termasuk dengan problema yang kita alami, namun dunia akan tetap sama entah ketika menutup atau membuka mata. Jika di suatu malam listrik di rumah kita mati apa yang akan kita lakukan? Apa kita akan menggerutu dan mengutuk PLN yang melakukan pemadaman? Jika begitu, apa kondisi berubah? Tentu tidak, yang ada kita capek sendiri. Tentu yang harus kita lakukan adalah menyalakan lilin. Walaupun tak seterang lampu, tapi setidaknya dengan menyalakan lilin kita masih bisa melihat seisi ruangan walau redup. Ibaratnya ketika kita berada dalam kegelapan, sampai berbusa mulut kita mengumpat dan mengutuk, tak akan ada perubahan sampai kita menyalakan sebatang lilin atau alat penerangan lainnya. Berbuat lebih baik daripada sekedar berkata-kata, walaupun dengan kata-kata itu hati dan pikiran cenderung menjadi tenang karena emosi sedikit tersalurkan tetapi jauh lebih baik dan berbahagia kalau masalah itu bisa kita selesaikan sendiri. Walaupun sebatang lilin kecil yang menyala, itu sudah cukup membuat perbedaan dibandingkan kita berdiam diri dalam kegelapan. Menyalakan lilin mungkin contoh yang sederhana, simple dan tak terlalu merubah banyak. Tapi setidaknya berkontribusi memberikan cahaya di tengah kegelapan. Dalam hidup pun rasanya kita harus memberikan cahaya walau bentuknya sederhana, entah lewat tenaga, materi, atau ide. Mari kita sambut kiprah para pemimpin daerah dengan menjadikan diri kita masing-masing sebagai lilin-lilin yang mampu menerangi bagian dari ruang kerja dan kehidupan yang sesuai kapasitas dan sekuat kemampuan yang kita miliki. Insya Allah dari satu lilin, seratus atau seribu lilin tersebut bisa menerangi seluruh ruang hidup kita. Mengutuk kegelapan tidak akan menjadikan gelap sirna tetapi justru menambah pengapnya suasana hati. Imam Al-Ghazali pernah mengingatkan bahwa salah satu kunci kebahagian hati di dunia adalah dengan selalu pandai bersyukur. Sikap syukur yang paling sederhana, mudah, ringan tapi agak sulit dilakukan adalah ?tidak pernah mengeluh dalam keadaan apapun di semua lini kehidupan kita?. Muhammad Fahmi, ST, MSi Pemerhati masalah Sumber Daya Manusia dan masalah Tematik Bangsa Kandidat Doktor Program Studi Manajemen Sumber Daya Manusia Universitas Negeri Jakarta UNJ Master of Ceremony MC, Trainer Publik Speaking/Kehumasan Salam Merah Mempesona Menggelitik Hati fahmizidane2003 WA 08158228009
daripada mengutuk kegelapan lebih baik menyalakan lilin Memuat
Di Indonesia kata-kata ini juga sudah banyak yang mengutip, entah jadi kata pembuka di sebuah pidato atau dijadikan Quotes, seperti misalnya saya gunakan jadi tagline di blog ini.'Kenapa memilih kata-kata itu ? Kenapa bukan bikin kata-kata sendiri' protes seorang kawan. Jawabannya simpel. Saya berharap tulisan-tulisan di blog ini bisa menjadi seperti sebuah lilin yang sedang saya nyalakan untuk menerangi siapa saja yang mau mampir dan membaca KataTatas percaya tulisan-tulisan ini akan menemukan sendiri pembacanya. Seringkali bahkan tanpa disadari saya, sampeyan dan mereka sedang berubah dan bertumbuh menuju generasi pengeluh. Sedikit-sedikit mengeluh....sedikit-sedikit nyinyir...sedikit-sedikit mengutuk...menyalahkan pasangan, menyalahkan orang lain, menyalahkan pemerintah...atau bahkan menyalahkan Tuhan ? Mengeluh koq sedikit-sedikit, kalo kata Cak rupa dan masalah atau urusan remeh temeh seperti cucian belum kering terus tiba-tiba hujan, jalanan yang becek dan gak ada ojek, bahkan sampe urusan lunturnya maskara karena keringetan akibat sepedaan, bisa membuat otak kram dan berpotensi berubah jadi keluhan kutukan.Mengutuk, meratapi, mengeluh atau apapun istilah lainnya dengan konotasi yang sama mungkin memang menyenangkan bagi sebagian besar orang. Banyak orang merasa lepas dan lega setelah mengeluarkan semua kosakata keluhan dan sumpah serapah dari mulutnya atau bahkan dari jempol-jempolnya lewat status dan komentar di media tunggu dulu, apakah setelah kita mengutuk sesuatu lalu keadaan itu langsung berubah? Dari pengalaman hidup kita, mengeluh tidak mendatangkan apa-apa kecuali kepuasan batin yang ketika menutup mata, semua bayangan dunia menjadi tak terlihat termasuk dengan problema yang kita alami, namun dunia akan tetap sama saja entah ketika menutup atau membuka mata. Sama seperti orang yang mabuk minuman keras atau yang pakai narkoba, pada saat dia mabuk dan gak sadar terus meracau, ngoceh dan blank seakan hilang semua masalah dan problem yang dialaminya. Tapi ketika kembali sadar sober, masalah dan problem yang dihadapi tidak terus selesai begitu saja, bahkan kadang malah tambah masalah baru akibat dari mabuknya itu. Akhirnya karena dia merasa bisa bersembunyi dari masalah dengan cara mabuk, ya si pemabuk itu mabuk lagi...begitu aja hidupnya. Jadinya ya ketika saya, sampeyan dan mereka ada dalam suatu masalah, maka yang dicari adalah seseorang...sesuatu atau bahkan sesekor kambing hitam dari munculnya masalah tersebut. Dalam menghadapi masalah, seringkali saya, sampeyan dan mereka bukan mencari solusi untuk mengatasi masalah. Kita lebih cenderung menyalahkan kondisi, menyalahkan diri sendiri, menyalahkan semuanya, lantas marah-marah pada sekitarnya atau bahkan mencoba lari dari misalnya saat saya terjerembab dalam lubang hutang yang tak berkesudahan. Hidup dan kerja cuma gali lubang untuk menutup lubang yang lain, tanpa mau berpikir bahwa kalo besar pasak daripada tiang ya berarti tiangnya yang harus diperbesar...entah bagaimana caranya. Atau solusi lainnya ya mengecilkan pasaknya agar muat dan cocok di itu.....seringkali baik menyalakan lilin daripada mengutuk kegelapan. Ibaratnya ketika kita sedang berada dalam kegelapan malam, yang kita butuhkan adalah cahaya penerang. Maka nyalakanlah cahaya itu, walo cuma sebatang lilin, bukan hanya malah sibuk ngegulutuk, mengumpat, merutuk sampai mulut berbusa tanpa melakukan situasi saat ini, kegelapan sedang menggelayut di seluruh dunia, akibat Pandemi Covid-19. Banyak sektor usaha menarik rem darurat. Ada yang shifting bidang usaha, ada yang berusaha menekan pengeluaran, bahkan tak sedikit juga yang tumbang dengan mengorbankan puluhan juta pekerja yang kehilangan pekerjaannya. Terus apakah kita mesti berlarut-larut mengutuki kegelapan Pandemi ini ?Mencari jalan keluar yang baik dari setiap persoalan akibat Pandemi ini adalah pilihan yang bisa dilakukan siapa saja. Jika semua orang mau menempuh pilihan ini niscaya kita akan hidup dalam dunia yang terang benderang. Lakukan apa yang bisa dilakukan, misalnya melakukan shifting bidang usaha dari yang tadinya membuat produk konveksi dan jasa menjahit, bisa kemudian beralih jadi produsen masker. Dari yang tadinya gadget dan smartphonenya cuma digunakan untuk eksis di media sosial, merubah perilakunya dengan membuat karya tulisan, video, gambar, animasi atau apa saja yang bisa dipasarkan secara online. Saya sudah pernah menuliskan beberapa artikel yang bisa sampeyan coba, seperti artikel 'Menjual Photo di Shutterstock' atau membuat produk-produk yang pernah saya tuliskan, misalnya 'Memodifikasi Dispenser Elektrik Yang Bebas Sentuh' atau cuma pengin cara yang instan tapi lama dapet duitnya seperti artikel 'Nonton Video Lucu Dibayar Dollar di Clipclaps'.Mengutuk, mengumpat, memaki, adalah tindakan yang paling mudah dilakukan, apalagi pada saat kita berada dalam kegelapan. Tapi apakah tindakan itu ada manfaatnya? Sama sekali tidak ada, kecuali hanya menambah kegaduhan dan kesulitan. Tapi, apakah mencari jalan keluar dari setiap kerumitan itu selalu sulit? Jawabannya iya bagi mereka yang suka mengeluh pesimistis, tapi tidak bagi mereka yang tidak suka mengeluh optimistis. Belum dicoba ngerjain udah bilang susah ah....gak bisa ah...males ah. Ya sudah kembali tidur aja lagi sana....Optimis dan selalu mencoba melihat sisi positif dari segala kejadian bisa merubah kesempitan menjadi sebuah kesempatan. Contoh yang paling gampang sampeyan lihat adalah banyaknya artis-artis dan entertainer negeri ini yang kemudian berebut di celah sempit membangun Kanal Youtube-nya. Kita sama-sama paham bahwa semenjak Pandemi, dunia entertainer terpukul sedemikian hebat dan mungkin akan paling lama terimbas. Kawan lama saya yang tadinya dancer kelas internasional yang biasa melanglang buana menggelar pertunjukkan di luar negeri saat ini menganggur dan jobless. Tidak ada panggilan manggung atau sekedar menjadi penari latar pertunjukan artis lokal. Kemudian dia mencoba iseng bikin-bikin kue, lalu ditawarkan ke teman-teman terdekatnya, temannya membantu menawarkan ke teman yang lain, begitu seterusnya hingga lingkaran pemasaran produk kue-nya semakin membesar. Hingga kini dia bisa survive di tengah Pandemi ini, menunggu saatnya dunia entertain menggeliat bangun mengeluh, terutama pada saat berbicara di hadapan publik. Entah mengeluh pada keluarga, saudara atau teman sekitar sampeyan. Menurut ahli ilmu jiwa psikolog pesimisme bisa menular. Orang yang suka mengeluh di depan umum, tidak hanya buruk bagi dirinya, ia juga destruktif bagi lingkungannya. Si pengeluh bisa seperti berita kematian yang bisa menebarkan duka cita keseluruh penjuru. Atau bahkan seperti epidemi yang mudah tersebar, membuat banyak orang tertular wabah penyakit. Ketika seseorang sering mengeluh tentang apa saja awalnya akan membuat orang sekitarnya sebal mendengar keluhan dan keluhan saja setiap hari, lalu mulailah orang yang mendengar keluhan ini mengeluhkan situasinya ke temannya...begitu seterusnya sehingga lingkaran keluhan akan semakin membesar dan akhirnya semua orang menjadi pengeluh yang tanpa sesuatu, selalu berusaha untuk berbuat yang terbaik walau sekecil apa pun. Tidak perlu berbuat sesuatu yang maksimal, spektakuler dan berdampak luas. Berbuatlah sesuatu dengan kekurangan dan kelebihan yang kita punya. Jangan memaksakan diri untuk berbuat sesuatu yang kita tidak mampu melakukannya, tapi lakukanlah sesuatu yang bisa kita lakukan. Jika kita terlalu sibuk ingin berbuat sesuatu yang sempurna dan dampaknya besar seringkali akhirnya kita malah tidak jadi berbuat apa-apa...cuma rencana, rencana dan rencana tanpa implementasi. Kalo sudah begitu, hanya mimpi dan rencana saja terus apa gunanya ?Winston Churchill 1874-1965, Perdana Menteri Inggris pernah mengatakan 'The pessimist sees difficulty in every opportunity, the optimist sees the opportunity in every difficulty'. Termasuk yang manakah sampeyan saat ini, mau ikut golongan orang yang pesimistis atau optimistis? Mau menyalakan sebatang lilin, atau mau terus menerus mengutuk kegelapan?
Lebih baik menyalakan lilin dari pada mengutuk kegelapan". Ungkapan sangatlah tepat untuk dicermati dalam kond
APA yang terlintas dalam benak Anda ketika membaca salah satu benda ini ? Anda mungkin hanya berpikiran bahwa lilin cuma sekedar benda kecil yang tak berarti. Dan akan terlihat berarti bila terjadi gelap. Lilin akan menerangi kita dalam kegelapan dengan cahaya yang ia miliki. Allah memisalkan petunjuk dengan cahaya, kesesatan sebagai gelap. Ini mengisyaratkan, pasukan kesesatan tak memiliki sedikitpun daya di depan pasukan cahaya. Ia hadir ketika pasukan cahaya menghilang. Sepanjang sejarah, umat kita mengalami kesesatan ketika roda pergerakan syiar dakwah’ berhenti bergerak. Di sini tersirat sebuah kaidah syiar dakwah. Bahwa gelap yang menyelimuti langit kehidupan kita, sebenarnya dapat diusir dengan mudah, bila kita mau menyalakan lilin syiar ini kembali. Berhentilah mengikuk gelap. Ia toh tak berwujud dan tak berdaya. Kita tak perlu memanggil matahari untuk mengusirnya. Tidak juga bulan. Tak ada yang dapat kita selesaikan dengan kutukan. Sama seperti tak bergunanya, ratapan di depan sebuah bencana. Musibah, jahiliyah, kekalahan yang sekarang merajalela di seantero dunia Islam kita, tak perlu di islah’ dengan kutukan ataupun ratapan. Sebab kedua tindakan itu tidak menunjukan sikap Ijabiyah’ positif dalam menghadapi realita. “Adalah lebih baik menyalakan sebatang lilin daripada mengutuk kegelapan.” Sikap ijabiyah menuntut kita untuk menciptakan kehadiran yang berimbang dengan kehadiran fenomena jahiliyah dalam pentas kehidupan. Ini mungkin tak kita selesaikan dalam sekejap. Tapi sikap mental imani yang paling minimal, yang harus terpatri dalam jiwa kita, adalah membuang keinginan untuk pasrah atau menghindari kenyataan. Kenyataan yang paling buruk sekalipun, tidak boleh melebihi besarnya kapasitas jiwa dan iman kita untuk menghadapinya. Di sini ada sebuah pengajaran yang agung. Bahwa sudah saatnya kita membuang kecenderungan meremehkan potensi diri kita. Ketika kita mempersembahkan sebuah amal yang sangat kecil, saat itu kita harus membesarkan jiwa kita dengan mengharap hasil yang memadai. Sebab amal yang kecil itu, selama ia baik, akan mengilhami kita untuk melakukan amal yang lebih besar. Ibnul Qayyim mengatakan, sunnah yang baik, akan mengajak pelakunya melakukan saudara-saudara’ sunnah itu. Akhirnya, tutuplah matamu dan nyalakan lilin, lalu, “Katakanlah, telah datang kebenaran. Sesungguhnya kebatilan itu pasti sirna.” - - diambil dari buku Arsitek Peradaban, ditulis oleh ust. Anis Matta Lc. -
EleanorRoosevelt merupakan seorang politisi, diplomat, dan aktivis Amerika. Ia juga merupakan istri dari Franklin D. Roosevelt dan tercatat sebagai First Lady yang mengabdi dengan waktu paling lama, dari 1933 sampai 1945 selama 4 periode pengabdian Franklin D. Roosevelt.. Selama masa kepresidenan Franklin D. Roosevelt, Eleanor Roosevelt memberikan konferensi pers dan menulis kolom berita.
Atheis dimusuhi karena tidak bertuhan. Bertuhan dimusuhi karena Tuhannya beda. Tuhannya sama dimusuhi karena nabinya beda. Nabinya sama dimusuhi karena alirannya beda. Alirannya sama dimusuhi karena pendapatnya beda. Pendapatnya sama dimusuhi karena partainya berbeda. Partainya sama dimusuhi karena pendapatnya beda. Apa kamu mau hidup sendirian dimuka bumi untuk memuaskan nafsu keserakahan?– Gus Mus Akhir-akhir ini, menjelang kontestasi pemilihan Presiden 2019 yang akan datang. nampaknya sebagian dari kita sering dihadapkan pada situasi saling membenci hate speech antar sesama, entah berbagai motif dihadapkan. Mulai dari benci yang bermula dari perbedaan cara beragama, perbedaan etnis sampai pada perbedaan dalam pilihan politik. Terlepas dari itu, yang menjadi persoalan, apakah dengan perbedaan-perbedaan yang demikian itu harus kita sikapi dengan kebencian?. Sebagai contoh misalnya,kita lihat tindakan persekusi yang terjadi di bundaran Hotel Indonesia HI pada bulan Mei kemarin 5/18 bentrokan antara massa yang menggunakan kaos bertagar dia sibuk bekerja’ dan yang bertagar 2019 ganti presiden’. Entah bagaimanapun persoalan ini dinarasikan, tetap ini merupakan pemandangan yang sungguh tidak mengenakan tentunya bagi kita . Tidak cukup sampai disitu, sebagian dari kita bahkan seakan tidak mau menerima perbedaan tersebut, lanjut menjadi sebuah Fitnah, cacian dan makian yang tentunya tidak ingin kita harapkan kehadirannya. Kini, kata munafik’ dan dungu’ menjadi sebuah term yang sangat familiar untuk didengar sehari-hari. Sebenarnya jika kita ingin menelisik lebih dalam, bagaimana persoalan kebencian ini didudukan. Kita akan mendapati logika semacam wilayah hitam putih. Setiap kebenaran yang kita yakini akan kita anggap putih, dan selain dari putih itu berwarna hitam. Sulit bagi kita, untuk menganggap bahwa ternyata ada warna lagi selain dari dua’ ini. Yang Perlu Diperhatikan dalam Ber-amar-ma’ruf-nahi-munkar Sesungguhnya kebenaran itu sebuah kaca besar yang dipegang Tuhan, lalu jatuh ke bumi dan berpecah belah, manusia satu per satu memegang pecahan itu dan menganggapnya sebagai kebenaran secara utuh- Jalaludin Rumi Secara tidak langsung Rumi ingin mengatakan bahwa tidak ada kebenaran yang sejati kecuali yang dipegang oleh Tuhan. Mungkin, sebagian dari kita boleh-boleh saja untuk merasa benar, tetapi tidak dengan merasa paling benar. Berbicara tentang kebenaran, agama menawarkan konsep Amar Ma’ruf Nahi Munkar di dalam wilayah saling mengingatkan kebenaran satu sama lain. Lanjut, lebih spesifik Amar Ma’ruf Nahi Munkar lebih dititik-fokuskan dalam mengantisipasi maupun menghilangkan kemunkaran, dengan tujuan utamanya menjauhkan setiap hal negatif di tengah masyarakat tanpa menimbulkan dampak negatif yang lebih besar. Ketika kita Menerapkan Amar Ma’ruf Nahi Munkar mungkin mudah dalam batas tertentu tetapi akan sangat sulit apabila sudah terkait dengan konteks bermasyarakat dan bersosial. Oleh karena itu orang yang melakukan Amar Ma’ruf Nahi Munkar harus mengerti betul terhadap perkara yang akan ia tindak, agar tidak salah dan keliru dalam bertindak. Yang menjadi sebuah catatan tersendiri adalah ketika kita ber-nahi-munkar. Bisa jadi, kita menganggap itu adalah sebuah perbuatan yang munkar menurut pemahaman yang kita miliki, tetapi ternyata tidak jika menurut orang lain. Ternyata perbuatan Nahi Munkar tidak bisa kita laksanakan semudah yang kita bayangkan. Ada beberapa ketentuan-ketentuan yang harus kita miliki sebelum melaksanakannya. Di dalam kitab Tanbiihul Ghafiliin karangan Ibnu An Nahas, kitab al Amru bil ma’ruf wa an-nahyu anil munkar karangan al-Qadhy abu ya’la juga kitab al-adabu syari’yah karangan Ibnu Muflih dikatakan bahwa ada empat syarat yang harus menjadi perhatian kita sebelum melaksanakan perbuatan Nahi munkar, empat syarat tersebut adalah Perbuatan tersebut benar-benar suatu kemungkaran kecil atau besar Kemungkaran tersebut masih ada Kemungkaran tersebut nyata tanpa dimata-matai Kemungkaran tersebut bukan termasuk perkara Khilafiyah Jadi jelas disini, ada sebuah wilayah dimana kewajiban ber-nahi munkar seketika gugur apabila perbuatan yang dimaksud masih bersifat khilafiyah. Banyak sekali dari kita, yang sangat bersemangat sekali di dalam mengingatkan perbuatan dosa kepada saudara kita. Padahal apa yang diingatkan tersebut masih berupa khilafiyah menurut para ulama. Mirisnya, tidak hanya berhenti disitu, perbuatan khilafiyah tersebut di kemudian malah bermetamorfosa menjadi sebuah perkara yang harus disikapi dengan kebencian dan kemarahan. Semua mengatakan pihaknya yang paling benar sementara pihak yang lain sesat, kafir dan munafik dan -lagi-lagi- semuanya berlindung dibelakang nama Amar Ma’ruf Nahi Munkar’. Rasulullah Tidak Mau Umatnya Saling Melaknat dan Mencela Dengan hadirnya pemandangan-pemandangan dimana sesama Muslim seakan saling beradu kemarahan dan kebencian, sejenak kita bisa merenung apakah memang ajaran jungjungan kita baginda Nabi Muhammad Saw memang demikian adanya?. Jika kita mau menelisik sedikit, ada Sekian banyak hadits Nabi Saw menganjurkan kepada umatnya untuk tidak saling melaknat dan mencela kepada sesama, diantaranya hadis yang berbunyi bahwasanya Nabi Saw bersabda “Mencela seorang Muslim adalah kefasikan dan membunuhnya adalah kekafiran” HR Bukhari dan Muslim Juga hadis yang berbunyi Dari Abu Hurairah, ia berkata, dikatakan kepada Rasulullah Saw “Ya Rasulullah, berdoalah celaka atas orang-orang Musyrik !” beliau bersabda “Sesungguhnya aku tidak diutus sebagai tukang laknat, tetapi aku diutus sebagai Rahmat” HR Muslim Dari kedua hadis ini, tentunya kita bisa menyimpulkan bagaimana seharusnya kita bersikap kepada sesama makhluk Allah Swt. Salah satu ulama kharismatik asal Tanggerang, Habib Jindan bin Novel dalam ceramahnya mengenang Maulid Nabi di Istana kepresidenan pada tahun lalu, menjelaskan bahwa hadis yang kedua ini berlangsung dalam konteks ketika Rasulullah dalam keadaan peperangan. Bayangkan, dalam keadaan kondisi seperti demikian pun, Rasulullah tetap enggan melaknat orang-orang Musyrik tersebut. Padahal orang-orang Musyrik tersebut lah yang membunuh saudara-saudara Muslim pada saat itu. Selanjutnya, kita pun bisa menyimpulkan, kalau Rasulullah saja enggan dalam melaknat seorang Musyrik, apalagi melaknat kepada sesama Muslim?. Belakangan ini, nampaknya sering kita dihadapkan pada suasana betapa mudahnya kata “munafik”,”dungu” sampai “kafir” dilontarkan, baik itu dari kalangan muslim kepada nonmuslim, atau pun dari muslim kepada muslim lagi. Mirisnya, mereka-mereka yang melontarkan ini, selalu berlindung dibelakang kata menegakan agama’, padahal agama mana yang mengajarkan untuk mencela kepada sesama. Yang semestinya menjadi catatan, Seorang yang selalu melakukan maksiat pun tidak semestinya untuk dicela, dimaki, dan dihujat sedemikian rupa. Mereka-mereka ini adalah orang kehilangan cahaya keagamaan, berada pada kegelapan yang nyata, jika kita menghujat mereka, tidak akan lahir kesadaran keagamaan di dalam diri mereka, sebab apa? Yang ada didalam hati mereka hanya lah prasangka yang buruk terhadap citra agama kita. Jika anda ingin berdakwah dengan sasaran seorang pencuri, apakah perlu untuk mengatakan kepadanya bahwa “anda adalah seorang pencuri!” atau “dasar pencuri!”?. Tentunya hal seperti itu adalah hal yang tidak perlu bukan?, bukan ajaran Agama yang sang pencuri terima, yang ada pencuri malah kabur menjauh dari kita. Kegelapan ada tidak untuk dihujat, tapi untuk diberi penerangan. Kalau kita sedang berada pada sebuah ruangan yang gelap gulita, tidaklah akan membawa perubahan pada kondisi yang lebih baik jika kita terus menerus mengeluh dan membenci kegelapan, ambilah lilin kesana untuk membawa pada keadaan yang lebih baik. [zombify_post]
Pendidikan adalah gerakan dari kegelapan ke cahaya.-Allan Bloom.-Lebih baik menyalakan lilin daripada mengutuk kegelapan. - Eleanor Roosevelt.-Ada dua cara untuk menyebarkan cahaya: menjadi lilin atau cermin yang memantulkannya.-Edith Wharton.-Ketika Anda memiliki cahaya di dalamnya, Anda melihatnya secara eksternal.-AnaĂŻs Nin.
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas. Betapa mudahnya kita mengutuk, tinggal menyebutkan beberapa suku kata yang masuk blacklist akismet atau filter yahoo maka jadilah kita pengutuk sejati. Objeknya beraneka ragam, mulai dari pekerjaan yang menumpuk , gaji yang telat dibayar, didahului mantan merit kalau istilah Makassar nya dilambung kiri pas belokan tidak pake riting dan weser, hujan, cucian belum kering, macet, becek, gak ada ojek, dan lain sebagainya. Pokoknya segala rupa masalah yang kita hadapi sehari-hari mulai dari masalah yang berat dan membuat otak koslet sampai urusan remeh temeh misalnya sakitnya bulu hidung ketika dicabut. Yap, semua hal berpotensi untuk kita keluhkan. Mengutuk, meratapi, mengeluh atau apapun istilah lainnya dengan konotasi yang sama memang menyenangkan. banyak orang merasa lepas dan lega setelah mengeluarkan semua kosakata itu dari mulutnya. Tapi tunggu dulu, apakah setelah kita mengutuk sesuatu maka keadaan itu langsung berubah? Dari pengalaman hidup kita, mengeluh tidak mendatangkan apa-apa kecuali ketenangan batin yang semu. Ibaratnya ketika menutup mata, semua bayangan dunia menjadi tak terlihat termasuk dengan problema yang kita alami, namun dunia akan tetap sama entah ketika menutup atau membuka mata. Dalam suatu masalah, kita sering mencari-cari kambing hitam dari adanya masalah itu. Dengan demikian, kita bisa lari dan lepas diri dari masalah. Bukan solusi, malah bisa menambah masalah baru. Dalam sebuah ujian atau musibah, kita sering menyalahkan kondisi, menyalahkan diri sendiri, dan orang lain. Dan, sering terlarut dari suasana kegelapan ujian atau musibah itu. Lalu apa yang harus kita lakukan? Seorang bijak pernah berkata would rather light a candle than curse the darkness [1962 Adlai Stevenson in New York Times 8 Nov. 34] Lebih baik menyalakan lilin daripada mengutuk kegelapan. Sebuah kalimat lugas yang diucapkan oleh Adlai Stevenson yang dialamatkan untuk Eleanor Roosevelt begitu sarat akan makna. Ibaratnya ketika kita berada dalam kegelapan, sampai berbusa mulut kita mengumpat dan merutuk, tak akan ada perubahan sampai kita menyalakan sebatang lilin atau alat penerangan lainnya. Berbuat lebih baik daripada sekedar berkata-kata, walaupun dengan kata-kata itu hati dan pikiran cenderung menjadi tenang karena emosi sedikit tersalurkan tetapi jauh lebih baik dan berbahagia kalau masalah itu bisa kita selesaikan sendiri. Walaupun sebatang lilin kecil yang menyala, itu sudah cukup membuat perbedaan dibandingkan kita berdiam diri dalam kegelapan. Lihat Pendidikan Selengkapnya
Lebihbaik menyalakan lilin daripada mengutuk kegelapan. #solusi #kegelapan #berusaha #membantu #instropeksi #partof #inside #qotd #quote #wednesday
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas. Pernahkah Anda mendengar sebuah perkataan, pendapat atau pemeo yang mengatakan, saat Anda memikirkan bahkan menginginkan sesuatu, tiba-tiba tidak begitu lama, dalam media sosial yang Anda ikuti membahas hal yang sama dengan yang Anda pikirkan. Mungkin Anda menganggap hal ini suatu kebetulan saja, namun secara tidak sadar Anda pasti meng-iyakan hal tersebut. Sebenarnya hal ini sama saat Anda mengalami sebuah masalah, tidak tahu harus memulai darimana untuk menyelesaikan masalah tersebut, membenarkan tindakan juga tidak ada yang percaya, meminta tolong juga tidak ada yang menolong. Saat harus menyalakan lilin dalam diri itulah menjadi tonggak awal Anda bisa menikmati sebuah perjalanan pada pembahasan di atas, atau bahkan yang terjadi beberapa waktu lalu, ada pendapat tentang ketidakinginan memiliki anak, memilih hidup sendiri, lebih menikmati sebuah kesibukan, hal ini adalah hal yang biasa dalam sebuah pilihan. Dalam hubungan antar manusia, sebenarnya orang lain yang ada dalam lingkaran Anda adalah merupakan cerminan Anda. Penggambarannya seperti ini, bila melihat wajah yang berjerawat di cermin, maka yang diobati adalah wajah, dan bukan cerminnya bukan? Dan apa yang terjadi dalam sebuah pilihan hidup Anda secara tidak sadar dipengaruhi oleh apa yang ada dalam lingkungan dan lingkaran hidup Anda. Begitu pula saat melihat kesalahan di orang lain, meskipun terkadang berhasil membuahkan perubahan yang temporer, hal ini sama saja mengobati jerawat di cermin, bukan di wajah Terdapat 4 empat langkah yang bisa dilakukan agar bisa menyalakan lilin tersebut dengan mengacu pada apa yang disampaikan Gede Prama, seorang 'Resi Manajamen' versi Majalah Infobank, sebagai berikutPertama, tidak antiego. Sebenarnya banyak kemajuan yang didorong oleh mesin ego, namun yang harus dijaga adalah saat ego yang berlebihan muncul, karena sangat potensial mematikan lilin dalam paling efektif dari ego adalah kebijakan atau "bijak" yang bisa berasal dari kedewasaan, belajar mendalam tentang agama atau sumber kebijakan lainnya. Bahkan Anda bisa belajar dari orang-orang yang berada di bawah misalnya dalam taraf ekonomi, tukang becak, sopir angkot dan masih banyak lainnya. Dari sini Anda bisa belajar sedikit arif, karena dengan uang yang sedikit mereka masih bisa bersyukur kepada Tuhan. Bahkan dengan penampilan yang sederhana, masih memiliki kepercayaan diri bisa berkomunikasi dengan orang lain, dengan kerut muka hitam dan kotor, masih bisa trsenyum pada orang lain. Baca juga "Possible", Satu Mantra Menuju dalam proses berkomunikasi, sering dikemukakan seseorang bisa dikatakan berhasil bila sudah mencapai tataran "communication with heart".Heart ini pun kalau dirinci berasal dari dua kata, yaitu kata 'hear' dan kata 'art', yang bisa diartikan sebagai seni mendengar. Tentu saja banyak hal yang bisa diperoleh ketika Anda bisa menguasai seni setiap orang memiliki sesuatu yang kecil bagi orang lain, namun sangat besar artinya bagi lilin dalam diri kita akan tampak terang bagi orang lain, apabila kita memberikan our total body language. Contoh mudahnya seperti ini, bila Anda berbicara dalam posisi sedang berdiri, jangan lupa mengarahkan ujung kaki, dada dan muka ke lawan bicara. Atau bila seseorang sudah bercerita tentang hal pribadi, tunjukkan empati Anda, dan juga ajukan pertanyaan, yang bisa membuat orang semakin bangga akan Goldstein dan Jack Kornfield dalam The Path of Deep Meditation, pernah menulisWisdom is not one particular experience, nor a series of ideas or knowledge to be collected. It is an on going process of daripada harus memikirkan berbagai langkah di atas, maka ada hal paling mudah yang bisa dilakukan, yaitu "Lebih baik menyalakan lilin daripada mengutuk kegelapan."Semoga sedikit catatan "saat harus menyalakan lilin dalam diri" ini bermanfaat dan bisa memberi makna bahwa apa pun yang terjadi semuanya kembali pada diri kita, baik untuk memulai, belajar atau melakukan instropeksi diri. 1 2 Lihat Humaniora Selengkapnya
Qp8Q. 5icpvvamyb.pages.dev/3875icpvvamyb.pages.dev/5785icpvvamyb.pages.dev/5665icpvvamyb.pages.dev/4005icpvvamyb.pages.dev/355icpvvamyb.pages.dev/2685icpvvamyb.pages.dev/2605icpvvamyb.pages.dev/326
lebih baik menyalakan lilin daripada mengutuk kegelapan